Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Haflah Khotmil Qur'an

Jumat, 29 Juni 2012

Membongkar Kedok Jamaah Tabligh


Jamaah Tabligh tentu bukan nama yang asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih bagi mereka yang menggeluti dunia dakwah. Dengan menghindari ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering dituding sebagai 'biang pemecah belah umat', membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima masyarakat berbagai lapisan.
Bahkan saking populernya, bila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya; ”Mas, Jamaah Tabligh, ya?” atau “Mas, karkun, ya?” Yang lebih tragis jika ada yang berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan mereka, kemudian langsung dihukumi sebagai Jamaah Tabligh.
Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jamaah yang berkiblat ke India ini? Kajian kali ini adalah jawabannya.

Pendiri Jamaah Tabligh

Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi. Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Sementara Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi), ibukota India. Di tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun Ad-Diyubandi adalah nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi penganut madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin Al-Jisyti.
Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 144-146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).

Latar Belakang Berdirinya Jamaah Tabligh

Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah 'Abirah I’tibariyyah Haulal Jama'ah At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil dari kitab Jama'atut Tabligh Aqa’iduha Wa Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman, hal. 19)
Merupakan suatu hal yang ma’ruf di kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke makam Rasulullah  (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 3).

Markas Jamaah Tabligh

Markas besar mereka berada di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dakka (Bangladesh). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizb (rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas, nama Allah yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14)
Yang lebih mengenaskan, mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yang dijadikan markas oleh mereka, di mana di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah  melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengkhabarkan bahwasanya mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah . (Lihat Al-Qaulul Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh, karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri, hal. 12)

Asas dan Landasan Jamaah Tabligh

Jamaah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai berikut:

Sifat Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah
Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat Allah, bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 4).
Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal. 52-55). Adapun makna merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-'Adnani, hal. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75)
Oleh karena itu, Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara 'keistimewaan' Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini, mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan kepada Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah At-Tablighiyyah, hal. 46).

Sifat Kedua: Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri
Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 5- 6).

Sifat ketiga: Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir
Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritus khuruj (lihat penjelasan di bawah, red) dan pada majlis-majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta dasar-dasar pedoman Jamaah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.
Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan ringkas).

Sifat Keempat: Menghormati Setiap Muslim
Sesungguhnya Jamaah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan sifat keempat ini di mana mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang tersebut 'alim rabbani. Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 8)

Sifat Kelima: Memperbaiki Niat
Tidak diragukan lagi bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)

Sifat Keenam: Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah subhanahu wata'ala
Cara merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, pen) bersama Jamaah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz Al Qur’an setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para jamaah yang khuruj, serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah (ala mereka, pen) yang disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jamaah Tabligh, pen) sebut dengan khuruj maka ini bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi dengan jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 7)
Asy-Syaikh Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh mereka yang ada di Banglades (maksudnya India, pen). (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 6)

Aqidah Jamaah Tabligh dan Para Tokohnya

Jamaah Tabligh dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah1. Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah aqidah adalah2:
1. Keyakinan tentang wihdatul wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini). (Lihat kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).
2. Sikap berlebihan terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib. (Lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir, hal. 468-469, dan hal. 540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
3. Tawassul kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya mereka dalam hal ini. (Lihat Fadhail A’mal, bab Shalat, hal. 345, dan juga bab Fadhail Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
4. Keyakinan bahwa para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Qur’an, hal. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
5. Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara ghaib atau batin. (Lihat Fadhail A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
6. Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil Qulub, hal. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jamaah Tabligh telah membai’atnya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).
7. Saling berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah. (Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya Asy-Syaikh Sa’ad Al-Hushain, hal. 9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 12).
8. Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal, bab Fadhail Ash-Shalati ‘alan Nabi, hal. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore).
9. Kebenaran suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jamaah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 10).
10. Keharusan untuk bertaqlid (lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, hal. 94, dinukil dari Jama'atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hal. 70).
11. Banyaknya cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dalam kitab Fadhail A’mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan hal. 50-52. Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul Musta’an.

Fatwa Para Ulama Tentang Jamaah Tabligh

1. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Siapa saja yang berdakwah di jalan Allah bisa disebut “muballigh” artinya: (Sampaikan apa yang datang dariku (Rasulullah), walaupun hanya satu ayat), akan tetapi Jamaah Tabligh India yang ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan. Maka dari itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu, yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan mereka) dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut dengan mereka maka tidak boleh”.
2. Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah Tabligh untuk mengingkari kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, pen), karena jika mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi maka tidak akan ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka. Namun kenyataannya, mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau rujuk dari kebatilan mereka, dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan kuatnya mereka dalam mengikuti hawa nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama, niscaya mereka telah tinggalkan manhaj mereka yang batil itu dan akan menempuh jalan ahlut tauhid dan ahlus sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul bid’ah dan peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka. Yang demikian itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen), dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dalam menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum muslimin, serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di atas empat tarekat sufi yang padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan dan kebid’ahan”.
3. Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata: “Bahwasanya organisasi ini (Jamaah Tabligh, pen) tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia sebagai organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka benar-benar kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu -insya Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.
4. Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Jamaah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah Jamaah Tabligh adalah dakwah sufi modern yang semata-mata berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat, maka sedikit pun tidak mereka lakukan, karena -menurut mereka- bisa menyebabkan perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah mempunyai prinsip keilmuan, yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada”.
5. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Kenyataannya mereka adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dan orang-orang tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi kepada Muhammad Ilyas, syaikh mereka di Bangladesh (maksudnya India, pen)”.
Demikianlah selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga sebagai nasehat dan peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith Thariq.



http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=153

Rabu, 13 Juni 2012

Sholat Istisqo


Nah kali ini Dari Musyawarah para Santriwan-Santriwati Alislam pada waktu Madrsah yang membahas tentang  Sholat istisqo, dan kenapa Rosulullah membalikan Rida'? 
Lebih jelasnya bisa dibaca di bawah ini :
Khutbah Istisqa
Khutbah istisqa hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas. Namun para ulama berbeda pendapat apakah lebih dahulu shalat kemudian khutbah ataukah sebaliknya:
Pendapat pertama, shalat dahulu kemudian khutbah lalu berdoa. Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anahu:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ
Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam keluar untuk melakukan istisqa`. Beliau shalat 2 raka’at mengimami kami tanpa azan dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa kepada Allah. Beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya mengangkat kedua tangannya. Setelah itu beliau membalik selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri pada bagian kanan” (HR. Ahmad 16/142, hadits ini dinilai dhaif oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah, 5360)
Dalil lain yang menunjukkan hal ini adalah riwayat lain dari hadits Abdullah bin Zaid Al MaziniRadhiallahu’anahu:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج بالناس ليستسقي فصلى بهم ركعتين جهر بالقراءة فيهما وحول رداءه ورفع يديه فدعا واستسقى واستقبل القبلة
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar bersama orang-orang untuk istisqa’. Beliau lalu shalat mengimami mereka sebanyak 2 raka’at dengan bacaan yang dikeraskan pada kedua raka’at. Kemudian beliau membalik posisi selendangnya, lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa meminta hujan sambil menghadap kiblat” (HR. Abu Daud no.1161, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Pendapat kedua, khutbah dahulu, lalu berdoa, kemudian shalat. Diantara dalilnya adalah hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas yang telah disebutkan.
Namun perbedaan ini adalah jenis khilaf tanawwu atau perbedaan dalam variasi, artinya dibolehkan mendahulukan shalat dulu ataupun khutbah dulu. Ibnu Hajar Al Asqalani berkata1 : “Apa yang diperselisihkan ini dapat digabungkan dari segi riwayat. Yaitu sebagian riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memulai dengan doa kemudian shalat 2 rakaat kemudian khutbah. Lalu sebagian rawi mencukupkan diri pada riwayat tersebut. Sebagian riwayat lagi menyebutkan dimulai dengan khutbah yang di dalamnya ada doa, sehingga terjadilah perbedaan pendapat”
Membalik Rida’
Memakai rida’ (semacam selendang) dan membalik posisi rida’ disunnahkan dalam istisqa, yaitu dengan menaruh kain yang disebelah kiri ke sebelah kanan, dan kain yang ada di sebelah kanan ke sebelah kiri. Hadits-hadits yang menyatakan dianjurkannya hal ini sangatlah banyak, diantaranya hadits Abu Hurairah, hadits Abdullah bin Zaid, hadits ‘Aisyah yang sudah disebutkan.
Membalikan rida’ ini dapat dilakukan setelah berdoa, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, atau ketika hendak berdoa, sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid Radhiallahu’anahu :
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المصلى فاستسقى وحول ردائه حين استقبل القبلة
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan untuk istisqa’. Beliau membalik rida’-nya ketika mulai menghadap kiblat” (HR. Muslim, no.894)
Namun para ulama berbeda pendapat apakah hanya imam yang melakukan hal tersebut ataukah makmum juga? Perbedaan pendapat ini terkait beberapa riwayat yang diperselisihkan keshahihannya, diantaranya hadits berikut:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم حين استسقى لنا أطال الدعاء وأكثر المسألة، ثم تحول إلى القبلة وحول رداءه فقلبه ظهرًا لبطن، وتحول الناس معه
Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika istisqa beliau memperpanjang doanya, memperbanyak permintaannya, lalu membalik badan ke arah kiblat dan membalik posisi rida’-nya, kain yang atas di perut dipindah ke punggung. Lalu orang-orang pun ikut membalik rida’ mereka” (HR. Ahmad, 4/41. Syaikh Al Albani dalam Tamaamul Minnah, 264, berkata: ‘Sanadnya qawi, namun lafadz ‘orang-orang pun ikut membalik rida’ mereka‘ adalah lafadz yang syadz‘).
Kebanyakan ahli hadits menilai hadits ini atau semisalnya sebagai hadits yang syadz. Wallahu’alam, yang lebih rajih, perbuatan ini hanya dianjurkan kepada imam.
Rida’ dalam hal ini bisa digantikan dengan yang semisalnya. Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafizhahullahberkata: “Disunnahkan membalikkan rida’ ketika mengakhiri doa. Ujung kanan diletakkan di sebelah kiri,yang kiri diletakkan di sebelah kanan. Demikian juga kain yang sejenis rida’, seperti abaya atau yang lain”2
Adab-Adab Istisqa
Pertama, karena tidak ada waktu khusus untuk melakukan shalat istisqa, maka hendaknya imam membuat kesepakatan dengan masyarakat mengenai hari pelaksanaan shalat. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah disebutkan:
ووعد الناس يومًا يخرجوا فيه
lalu beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan
Kedua, keluar menuju lapangan tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu dan kerendahan hati. Sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berjalan menuju tempat shalat dengan penuh ketundukan, tawadhu’, dan kerendahan hati hingga tiba di lapangan
Ketiga, mengajak semua orang untuk hadir, kecuali para wanita yang dapat menimbulkan fitnah. Ibnu Qudamah berkata: “Dianjurkan bagi semua orang untuk hadir. Lebih diutamakan lagi orang yang memiliki hutang, para masyaikh dan orang-orang shalih. Karena doa mereka lebih cepat diijabah. Para wanita, orang-orang yang sudah tua yang kecantikannya tidak menarik perhatian, tidak mengapa ikut keluar. Adapun para gadis atau wanita yang sangat cantik, tidak dianjurkan untuk keluar. Karena bahaya yang dapat terjadi dengan keluarnya mereka, lebih besar daripada manfaatnya”3.
Keempat, tidak ada adzan atau iqamah sebelum shalat istisqa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah dan juga demikianlah praktek yang dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana dikisahkan oleh Abu Ishaq:
خرج عبد الله بن يزيد الأنصاري ، وخرج معه البراء بن عازب وزيد بن أرقم ، رضي الله عنهم ، فاستسقى ، فقام بهم على رجليه على غير منبر ، فاستغفر ، ثم صلى ركعتين يجهر بالقراءة ، ولم يؤذن ولم يقم قال أبو إسحاقورأى عبد الله بن يزيد النبي صلى الله عليه وسلم -
Abdullah bin Yazid Al Anshari keluar. Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam membersamainya. Semoga Allah meridhai mereka semua. Mereka lalu ber-istisqa’. Abdullah bin Yazid berdiri tanpa menggunakan mimbar. Ia beristighfar, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang dikeraskan, tanpa ada adzan dan iqamah”. Abu Ishaq berkata: “Abdullah bin Yazid pernah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Bukhari no.1022)
Kelima, menasehati kaum muslimin untuk bertaqwa kepada Allah, meninggalkan maksiat, memperbanyak istighfar, puasa dan sedekah. Kebiasaan ini dilakukan oleh para salafus shalih, sebagaimana Abdullah bin Yazid Radhiallahu’anhu, juga yang dilakukan oleh Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah dalam suratnya kepada Maimun bin Mihran4, beliau berkata:
إني كتبت إلى أهل الأمصار أن يخرجوا يوم كذا من شهر كذا؛ ليستسقوا، ومن استطاع أن يصوم ويتصدق؛ فليفعل؛ فإن الله يقول: {قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى} (5) ، وقولوا كما قال أبواكم: {قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْتَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} (1) ، وقولوا كما قال نوح: {وَإِلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ} (2) ، وقولوا كما قال موسى: {إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ} (3) ، وقولوا كما قال يونس: {لا إِلَهَ إِلا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Aku menulis surat ini kepada para penduduk kota, supaya mereka keluar pada suatu hari yang mereka tentukan, untuk ber-istisqa’. Barangsiapa yang sanggup berpuasa dan bersedekah, hendaknya lakukanlah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri, menyebut nama Rabb-nya dan mengerjakan shalat‘. Dan berdoakan sebagaimana doa bapak kalian (Adam): ‘Keduanya berkata: “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Nuh: ‘Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Musa: ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‘. Dan berdoalah sebagaimana doa Nabi Yunus: ‘Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim‘”
Keenam, bersungguh-sungguh dalam menengadahkan tangan ke langit ketika berdoa, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anahu berkata:
كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه
Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasllam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)
Dalam riwayat Muslim:
أن النبي صلى الله عليه وسلم استسقى فأشار بظهر كفيه إلى السماء
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-istisqa dan mengarahkan punggung kedua tangannya ke langit
Juga disebutkan dalam hadits ‘Aisyah.
Ketujuh, imam membalikan badan ke arah kiblat, membelakangi para jama’ah, ketika berdoa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah :
ثم رفع يديه فلم يزل في الرفع حتى بدا بياض إبطيه ثم حول إلى الناس ظهره
… kemudian beliau terus-menerus mengangkat kedua tangannya sampai terlihat ketiaknya yang putih, lalu membelakangi orang-orang…
juga dalam hadits Abdullah bin Zaid disebutkan:
أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى المصلى ، فاستسقى فاستقبل القبلة
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat
Doa-doa Istisqa
Berikut ini beberapa doa yang dipraktekkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika istisqa:
اللهم اسقنا، اللهم اسقنا، اللهم اسقنا
Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x” (HR. Bukhari, no. 1013, 1014, Muslim no.897)
Dalam riwayat Muslim:
اللهم أغثنا، اللهم أغثنا، اللهم أغثنا
Ya Allah turunkan hujan kepada kami. 3x”
اللهم اسقنا غيثًا مغيثًا، مريعًا، نافعًا غير ضار، عاجلاً غير آجل
Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang terus-menerus, yang bermanfaat serta tidak membahayakan, yang datang dengan segera dan tidak tertunda” (HR. Abu Daud no.1169, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، ملك يوم الدين، لا إله إلا الله يفعل ما يريد، اللهم أنت الله لا إله إلا أنت الغني ونحن الفقراء، أنزل علينا الغيث واجعل ما أنزلت لنا قوة وبلاغًا إلى حين
Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan” (HR. Abu Daud no.1173, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
اللهم اسق عبادك، وبهائمك، وانشر رحمتك، وأحيي بلدك الميت
Ya Allah, turunkanlah hujan kepada hamba-Mu, serta hewan-hewan ternak, tebarkanlah rahmat-Mu, serta hidupkanlah negeri-negeri yang mati” (HR. Abu Daud no.1176, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
اللهم اسقنا غيثًا مريئًا مريعًا طبقًا عاجلاً غير رائث ، نافعًا غير ضار
Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang lebat, yang memberi kebaikan, yang terus-menerus, yang memenuhi bumi, yang datang dengan segera dan tidak tertunda, yang bermanfaat serta tidak membahayakan” (HR. Ibnu Maajah no.1269, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)
Demikian pembahasan singkat mengenai istisqa’, mudah-mudahan Allah Ta’ala mengabulkan doa orang-orang yang istisqa dengan diturunkannya hujan yang bermanfaat bagi semua orang. Amiin ya mujiibas sailiin.
1 Fathul Baari, 2/500
2 Al Mulakhas Al Fiqhi 289
3 Al Mughni, 3/335
4 Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya, 3/87, dengan sanad yang shahih
Diringkas dari kitab Shalatul Istisqa Fii Dhau-i Al Kitab Was Sunnah, karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, dengan beberapa tambahan.
Artikel alislam

"MENGABDI UNTUK BERBAKTI"

___________________________

Powered by: Blogger